Jakarta – Badiul Hadi, yang merupakan Manajer Riset di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Menyarankan agar PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, dikenal sebagai TLKM. Meningkatkan transparansi untuk mendorong nilai saham mereka.
Dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan di Jakarta pada hari Minggu, Badi menekankan bahwa kinerja keuangan Telkom menunjukkan hasil yang baik pada kuartal pertama tahun 2025.
Telkom melaporkan pendapatan konsolidasi sebesar Rp36,6 triliun, dengan EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) mencatat Rp18,2 triliun dengan margin sebesar 49,8 persen. Sementara itu, laba bersih yang diterima adalah Rp5,8 triliun dengan margin 15,9 persen.
Namun, di saat yang sama, saham TLKM menunjukkan pergerakan stagnan di level Rp2. 600. Walaupun secara evaluasi saham ini terlihat cukup menarik dengan EV/EBITDA sekitar 3,8x, ini masih di bawah rata-rata historis lima tahun yang sekitar 5,2x, yang berlaku untuk tahun fiskal dari Maret 2020 hingga 2024.
“Di posisi saat ini, bisa dikatakan Telkom berada pada nilai yang murah. Sayangnya, hal ini justru kurang mendapat respons positif dari pasar,” tuturnya cvtogel.
Badi mencurigai ada beberapa faktor yang menyebabkan stagnasi saham TLKM, termasuk kurangnya prospek yang jelas untuk pertumbuhan perusahaan dalam waktu dekat, sentimen negatif terhadap sektor telekomunikasi yang dianggap lesu, serta ketidakpastian mengenai arah bisnis dan kepemimpinan Direksi Telkom.
Oleh karena itu, Badi merekomendasikan agar Telkom meningkatkan transparansi, khususnya dalam hal data operasional.
Sebagai contoh, Telkom perlu mengungkapkan jumlah pelanggan IndiHome yang mencapai 9,8 juta untuk residensial (B2C) dan 11 juta untuk B2B. Namun, tidak ada informasi mengenai tingkat churn atau berapa banyak pelanggan yang membatalkan langganan. Kondisi ini dianggap menyulitkan publik dalam menilai loyalitas pelanggan serta kualitas layanan yang diberikan.
Di sisi lain, Telkom melaporkan jumlah Base Transceiver Station (BTS) yang dimiliki hingga Maret 2025, tanpa menyebutkan jumlah BTS yang sudah tidak beroperasi lagi.
“Akuntabilitas dalam pembangunan infrastruktur seharusnya tidak hanya terfokus pada angka, tetapi juga pada fungsinya,” ungkapnya.
Badi menyatakan bahwa laporan keuangan harus didukung dengan transparansi data operasional untuk membantu pasar dalam mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari perusahaan tersebut.