Jepang kembangkan baterai uranium dari limbah radioaktif

Jepang kembangkan baterai uranium dari limbah radioaktif

Tokyo – Jepang telah menciptakan baterai isi ulang berbasis uranium yang pertama di dunia melalui lembaga penelitian dan pengembangan nuklir nasionalnya.

Penemuan ini memiliki potensi untuk memanfaatkan banyak stok bahan radioaktif yang dihasilkan saat membuat bahan bakar nuklir.

Tim peneliti dari Badan Energi Atom Jepang telah menguji baterai ini dan menemukan bahwa uranium berfungsi sebagai “bahan aktif” yang mendorong reaksi kimia untuk menghasilkan listrik.

Dalam riset ini, uranium yang digunakan memiliki karakter kimia yang serupa dengan uranium terdeplesi, yaitu produk sampingan dari proses pengayaan uranium alami untuk bahan bakar nuklir.

Saat ini, uranium terdeplesi tidak dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam reaktor klasik.

Menurut lembaga tersebut dalam sebuah siaran pers, “Kami berharap hasil ini bisa memberikan nilai baru bagi uranium terdeplesi,” sembari menunjukkan bahwa baterai ini juga berpotensi untuk menyimpan surplus listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan.

Baterai yang memiliki ukuran 10 sentimeter lebar dan tinggi 5 cm tersebut, memanfaatkan elektrolit yang mengandung uranium untuk elektroda negatif, dan elektrolit yang mengandung besi untuk elektroda positif.

Prototipe baterai ini menghasilkan tegangan sebesar 1,3 V, yang hampir sama dengan tegangan baterai alkaline standar 1,5 V.

Setelah diisi dan dikosongkan sepuluh kali, kinerjanya tetap stabil, menunjukkan bahwa baterai ini memiliki stabilitas yang relatif baik, ujar lembaga tersebut.

Apabila baterai uranium ini dikembangkan lebih lanjut dan digunakan secara praktis, bisa jadi akan mampu memanfaatkan sekitar 16. 000 ton uranium terdeplesi yang ada di Jepang dan sekitar 1,6 juta ton di seluruh dunia, menurut lembaga tersebut.

Untuk meningkatkan kapasitas baterai, mereka berencana untuk mengembangkan “baterai aliran redoks” yang melakukan sirkulasi elektrolit menggunakan pompa, dimulai pada tahun fiskal 2025 atau seterusnya.

Namun, penggunaan baterai ini diharapkan terbatas pada area dengan kontrol radiasi, seperti di lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir.